SATIRE (6)

Sebagai seorang pejabat nomor satu dan paling berkuasa di daerahku, jelas aku berhak mengatur daerah kekuasaanku sesuai dengan seleraku. Biasanya aku tidak akan mengatakan tentang hak sebagai penguasa, namun dalam mengatur warga dan daerahku ini aku akan mengatakan “demi ketertiban daerah kita”, “demi kemajuan daerah kita”, “demi keamanan daerah kita”, “demi keindahan daerah kita”, dan demi-demi lainnya yang tentunya disambungkan dengan kata “kita”, supaya kelihatan bahwa itu bukan “demi kepentingan kekuasaan saya”. Kata “kita”, dalam diplomasi politik harus dipakai guna menanamkan tanggung jawab, bahwa kebijakan itu dimabil oleh masyarakat, bukan oleh penguasa; sementara penguasa hanyalah menjalankan keputusan yang dikehendaki masyarakat! Memang, sebagai seorang penguasa, aku dituntut untuk pandai bersilat lidah dan lihai berkelit. Ibarat seorang pesilat tangguh, aku harus pandai memainkan berbagai jurus supaya tidak pernah tersentuh oleh serangan lawan.

Sebagai daerah tujuan wisata, daerah kuasaanku harus selalu kelihatan rapi dan bersih. Tentu saja akupun harus selalu memperhatikan aspirasi orang yang ingin ikut membantu terselenggaranya pembangunan berbagai sarana dan prasarana, agar daerahku selalu berada di garda paling depan dalam hal kemajuan. Maka, jangan heran apabila di daerahku tidak pernah sepi dari pembangunan. Program kerjaku yang paling banyak diminati oleh orang-orang yang berkepentingan dengan pembangunan adalah relokasi daerah kumuh. Yang dimaksudkan dengan daerah kumuh bisa mengacu ke lokasi perumahan padat penduduk maupun pasar tradisional.

Berbicara tentang kekumuhan memang ribed sekali. Bayangkan, mereka telah kami beri pengertian tentang lokasi mereka yang sudah tidak layak, namun mereka tetap tidak bergeming pada saat kami beri kesempatan untuk pindah tempat. Bahasa pembangunannya “direlokasi”. Hal ini karena perumahan yang mereka tempati keadaannya sudah tidak layak ditinggali lagi karena terlalu pengap, kotor, dan gelap karena rumahnya berdempetan. Kalau kebakaran akan sulit dipadamkan. Artinya, keselamatan warga tidak bisa dijamin. Sementara pasar tradisional, demikian pula. Selain becek dan sangat kotor, atap bangunannya pun sudah banyak yang bocor, sehingga kalau hujan datang semakin menjijikan. Selain dari itu, jalan pun suka dipakai berjualan oleh pedagang yang tidak punya jongko/lapak. Akhirnya kemacetan tidak bisa dihindari.

Jadi kita harus bagaimana?” Sekda bertanya kepadaku.

Kita minta pendapat DPRD,” jawabku tanpa semangat.

Kan sudah. DPRD sudah menyerahkan kepada kita. Merekapun pusing memikirkan tingkah para pemilihnya itu,” Sekda menerangkan.

Kalau Satpol PP sudah bertindak?” Tanyaku.

Sudah, tapi kan itu hanya untuk para pedagang di pinggir jalan, pedagang kaki lima. Untuk yang di dalam pasar mereka tidak bisa bertindak.” Jawab Sekda putus asa.

Ya sudah, kalau begitu kita ambil tindakan terakhir,” jawabku singkat.

Maksud Bapak seperti pembicaraan di rapat kemarin?” Sekda penuh harap.

Ya, siapkan saja orangnya. Besok pagi harus sudah beres!” Aku sudah mengambil keputusan.

Pada setiap pagi aku selalu berolah raga jogging mengelilingi komplek perumahan pejabat pemda tempat tinggal kami. Setiap pulang jogging aku selalu istirahat di teras sambil menikmati kopi panas dan koran yang baru sampai. Ternyata koran pagi ini mengabarkan bahwa pasar Anu terbakar semalam. Api tidak sempat dipadamkan karena cepat sekali api menghanguskan seluruh bangunan pasar tradisional itu. Kerugian diperkirakan ratusan juta, karena barang para pedagang banyak yang tersimpan di kios.

Di kantor, Sekda melaporkan bahwa misinya sudah sukses dilaksanakan. Akupun langsung bertindak supaya tidak ada fitnah, yaitu langsung pergi maninjau pasar yang terbakar itu. Dengan memperlihatkan wajah yang berduka, aku mengajak bicara para pemilik kios yang bergerombol. Mereka mengadukan, bahwa harta mereka yang menjadi ladang penghidupannya habis terbakar.

Sabar Bu, Insya Allah nanti pun terganti lagi. Ini adalah cobaan. Tuhan tidak akan memberi cobaan yang tidak bisa diselesaikan oleh makhluk-Nya.” Dengan suara lirih aku pun mengucapkan kata-kataku itu dengan “penuh kesedihan”. Sementara cahaya dari blits kodak wartawan menerangi rona wajahku.

Sesampainya di kantor, beberapa wartawan dari televisi sudah menunggu untuk mewawancaraiku. Dan benar, pada sore harinya wajahku sudah nampang dalam televisi. Di sana aku bicara bahwa kebakaran dimungkinkan dari konsleting listrik, maklum kabelnya sudah banyak yang terbuka. Selanjutnya agar para pedagang tidak lama menganggur maka akan dibangun pasar pengganti agak jauh dari lokasi yang sekarang. Sementara di lokasi yang terbakar akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan. Adapun koran pagi memberitakan bahwa aku berbicara dengan para pedagang yang telah kehilangan barang dagangannya dan seluruh kios di pasar itu dengan penuh haru dan iba. Wajahku di koran itu terlihat sedih dan mau menangis. Berhasil!

Tidak ada masalah yang mengganjal rencana pembangunan pasar itu, Pak?” Tanya Ketua DPRD pada saat kami sedang tenis bareng.

Alhamdulillah, Pak Ketua. Ya, kalau demo mahasiswa sih wajar, namanya juga mahasiswa, masih idealis.” Jawabku agar nyidir Ketua DPRD.

Iya, asal jangan anarkis,” katanya.

Aku jadi ingat pada saat mahasiswa. Ketua DPRD ini seangkatan denganku, hanya beda fakultas. Dia sebagai aktivis yang suka mengkoordinasikan para demonstran. Dengan TOA tergantung di lehernya dia memaki para pejabat dengan orasinya yang menggebu-gebu. Diapun tidak segan-segan menyuruh para demonstran untuk membuka paksa pagar kantor yang didemo, yang akhirnya pagar itu jebol. Tapi itu dulu. Sekarang dia sebagai Ketua DPRD, kata-katanya penuh hikmah dan kebijakan.

Karena satu almamater dan satu angkatan itulah, maka kami tidak pernah membuka front. Apalagi dalam beberapa hal ada kesamaan hobi. Padahal pandangan politik kami tidak sama. Dia dari Partai X sementara aku dari Partai Y. Namun karena kepentingan kami sama, hubungan kami jadi seperti gula dengan manisnya, bagai lampu dengan terangnya, bak lebah dengan madunya. Seiring sejalan. Mesra.

Bagaimana dengan rencana pembangunan Mall di Z, sudah mulai pembebasannya?” Dia bertanya tentang rencana pembangunan Mall di komplek perumahan kumuh yang sudah dirapatkan dan sudah disetujui oleh DPRD.

Sulit sekali merelokasi penduduk itu. Rencananya, nanti lebaran kami akan mengambil tindakan.” Jawabku.

Mengapa harus lebaran?” Dia heran.

Kalau lebaran banyak penduduk di sana yang mudik, jadi konsekuensinya tidak terlalu berat,” jawabku dengan enteng.

Ya, memang aku sudah memberikan intruksi kepada Sekda agar melaksanakan rencana yang sama dengan pasar tradisional, tapi nanti pada saat penduduk daerah itu relatif kosong. Waktu yang paling tepat untuk itu adalah pada saat mereka banyak yang mudik lebaran!

Ya, terserah Bapak, nanti saya di DPRD akan mengkondisikan,” Dia memberikan janji. Tentu saja tidak gratis!

 

 

Bandung, 22 Januari 2010.

Tinggalkan komentar